Modul untuk Menumbuhkan dan Meningkatkan Sensitifitas Keadilan Gender

Sudah dipastikan pernyataan pertama yang akan muncul di benak orang yang membaca modul ini adalah apa yang dimaksud dengan pendidikan alternatif? Karena pendidikan alternatif sendiri bukanlah satu entitas yang homogen tetapi beraneka ragam. Pertanyaan kemudian yang biasa mengikuti adalah alternatif pendidikan macam apa? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang mendorong KAPAL Perempuan untuk terus mencari dan menemukan sebuah cara pendidikan yang membongkar cara-cara berpikir satu arah, sektarian, dan hierarkis menuju ke cara-cara berpikir yang kritis, pluralis, dan inovatif.

Salah satu model pendidikan alternatif yang sedang dikembangkan adalah model pendidikan yang menggunakan perspektif feminisme. Secara luas feminisme diartikan sebagai adanya kesadaran tentang ketertindasan perempuan dan aksi membebaskan perempuan dari ketertindasannya. Dengan demikian pendidikan berspektif feminisme pada dasarnya adalah sebuah usaha untuk mengembangkan suatu perspektif yang jelas tentang keadilan sosial dan keadilan gender. Perspektif ini dengan sendirinya kemudian akan membuka ruang-ruang bagi berkembangnya cara berpikir serta tindakan, yang pada gilirannya akan mendorong munculnya inovasi dan perubahan-perubahan fundamental dalam masyarakat. Dengan kata lain, nilai-nilai pluralisme akan tumbuh subur dan inisiatif-inisiatif baru akan bermunculan yang semuanya akan bermuara pada terciptanya masyarakat yang adil, demokratis, dan pluralis.

Pendidikan berperspektif feminisme tersebut sangat relevan dikembangkan di Indonesia. Pendidikan formal yang selama ini ada ternyata terbukti telah mempercepat proses terciptanya sebuah masyarakat Indonesia yang cenderung sektarian, hierarkis, tidak kreatif, takut berbeda pendapat, tidak mau menerima pandangan yang berbeda, serta mensubordinasikan perempuan dan patriarki (Jakarta Post, Mei 2001). Tindakan dari beberapa kelompok yang menggunakan cara kekerasan misalnya dengan membakar buku yang dianggap kiri merupakan indikator yang jelas dari kecenderungan tersebut. Sistem pendidikan nasional kita selama lebih dari 32 tahun memang telah membentuk cara berpikir yang seragam, hierrarkis, patriarkis, dan takut pada perubahan. Konflik dianggap jelek yang mengakibatkan budaya berargumentasi hilang diganti dengan memaksakan kehendak dengan kekerasan. Akibat terburuknya adalah pemikiran-pemikiran kritis tidak berkembang dalam masyarakat Indonesia. Metode pendidikan berperspektif feminisme yang bertumpu pada pengalaman pribadi, berorientasi pada proses, serta menggunakan metode partisipatoris secara intensif menjadi penting untuk dilakukan agar dapat membendung semakin kuatnya cara berpikir semacam itu.

Penerapan pendidikan feminis ini menjadi semakin relevan dalam konteks otonomi daerah (OTDA) saat ini yang memberikan kekuasaan luas bagi pemerintah daerah tingkat kabupaten untuk mengatur dirinya sendiri. Dengan demikian, seharusnya desentralisasi mendorong terjadinya proses demokratisasi di daerah-daerah karena jarak antara rakyat dan pemerintah lokal semakin kecil dan kemungkinan rakyat untuk terlibat dan mengontrol pemerintah lokal semakin besar. Akan tetapi sekali lagi setelah 32 tahun tidak diperbolehkan terlibat dalam proses-proses politik, baik pemerintah lokal maupun rakyat sendiri masih “gagap” untuk menggunakan kesempatan emas ini.

Desentralisasi sendiri jika tidak diwaspadai akan membawa ancaman serius. Pertama adalah ancaman munculnya pemerintah-pemerintah lokal yang otoriter dan korup karena masyarakat sipil yang lemah. Kedua adalah ancaman menguatnya sentimen-sentimen primordial yang akan membentuk masyarakat yang tidak demokratis dan anti pluralistik (Kompas, November 2000). Kerusuhan-kerusuhan di berbagai daerah menunjukkan bagaimana identitas primordial telah mengalahkan identitas bersama sebagai “orang Indonesia”. Dengan kata lain, proses tarik menarik antara demokrasi di satu sisi dan munculnya pemerintah-pemerintah otoriter serta menguatnya sentimen-sentimen primordial akan berlangsung dengan kuat jika masyarakat sipil masih lemah dan terpecah-pecah.

Tarik menarik kepentingan tersebut dipastikan akan menimbulkan konflik yang tidak tertutup kemungkinannya dapat menimbulkan korban. Korban yang utama dan terutama umumnya adalah kelompok-kelompok yang tidak bersuara dan tidak mempunyai kekuatan untuk memperjuangkan kepentingan-kepentingan mereka. Kelompok perempuan yang berjumlah besar adalah salah satu di antaranya. Dengan segala kelemahannya, perempuan pada akhirnya hanya menjadi objek saja dari proses desentralisasi. Di beberapa daerah yang telah menerapkan syariat Islam misalnya, keputusan untuk melarang perempuan keluar malam serta mewajibkannya mengenakan jilbab jelas merupakan keputusan-keputusan yang tidak memperhatikan aspirasi perempuan dan dapat dipastikan tidak melibatkan perempuan dalam proses pembuatannya. Kuatnya budaya patriarki merupakan salah satu sumber utamanya yang berindikasi dari kecilnya jumlah anggota DPRD tingkat II yang berjenis kelamin perempuan di hampir seluruh kabupaten di Indonesia.

Dalam konteks inilah peran pemimpin lokal yang memiliki perspektif keadilan gender dan pluralisme menjadi penting. Tetapi proses mendorong munculnya pemimpin-pemimpin lokal semacam ini tidaklah mudah dan membutuhkan sebuah proses panjang. Kebiasaan berpikir seragam, dogmatis, serta hierarkis membutuhkan sebuah proses pembelajaran yang demokratis dan partisipatoris. Pendidikan alternatif yang berspektif feminisme mendapat perannya di sini. Melalui pendidikan semacam inilah yang bertujuan meningkatkan keadilan gender, nilai-nilai pluralistik, dan kepemimpinan diharapkan memunculkan pemimpin-pemimpin perempuan di tingkat lokal. Mereka inilah yang nantinya akan mewujudkan desentralisasi dan pembagian kekuasaan yang benar-benar bermanfaat bagi rakyat banyak, khususnya kaum perempuan.

Berdasarkan pemikiran tersebut, KAPAL Perempuan berkomitmen untuk terlibat dalam upaya mengembangkan pendidikan kritis feminis yang berkonteks lokal. Bertumbuh kembangnya pemikiran-pemikiran kritis yang bertujuan memperjuangkan keadilan sosial, keadilan gender, dan pluralisme menjadi muara seluruh usaha ini.

Website Comments

    • Indri
      Balas

      Dear Mas Yazid,

      Kami belum memiliki soft copynya yang dapat diunduh, jika membutuhkan modul ini, silahkan untuk mengirimkan email untuk meng-copy. Berikut alamat email kami: office@kapalperempuan.org. Terima kasih.

      Salam,
      Indri

  1. Putri
    Balas

    Kini sudah banyak perempuannya yang menempuh pendidikan tinggi. Tetapi kesadaran akan kesetaraan gender hanya menjadi acungan jempol semata. Kurangnya pendidikan kesadaran akan kesetaraan gender. Bagaimana kita sebagai perempuan terus belajar akan kesetaraan gender yang seharusnya, tidak hanya sebuah ungkapan untuk menolak kenyataan budaya patriarki masih sangat kental?
    Terima kasih

Post a comment