Pertemuan Kedua Forum Akademisi Bali: Upaya Kolektif Mengintegrasikan Perspektif Gender dalam Pendidikan Tinggi

Denpasar, 23 Juli 2025 — Pertemuan kedua Forum Akademisi Bali dilaksanakan di Ruang Rektorat Universitas Ngurah Rai Bali merupakan kelanjutan […]

Denpasar, 23 Juli 2025 — Pertemuan kedua Forum Akademisi Bali dilaksanakan di Ruang Rektorat Universitas Ngurah Rai Bali merupakan kelanjutan dari komitmen bersama untuk membangun ruang kolaboratif lintas perguruan tinggi dalam memperkuat integrasi perspektif gender dalam pendidikan tinggi, khususnya di wilayah Bali. Forum ini mempertemukan akademisi dari berbagai universitas yang telah merintis dan mengembangkan pengajaran serta kajian tentang gender, feminisme, dan kesetaraan dalam berbagai pendekatan dan disiplin ilmu. Hasil diskusi memperlihatkan bahwa inisiatif-inisiatif ini telah berjalan dengan pendekatan yang beragam, baik dari sisi kurikulum, kedalaman materi, posisi mata kuliah (wajib atau pilihan), maupun strategi pedagogis yang digunakan.

Kegiatan ini merupakan inisiatif dan kolaborasi Institut KAPAL Perempuan, Jakarta bersama Universitas Ngurah Rai dan Bali Sruti. Pertemuan kedua ini dibuka oleh Dekan Fakultas Ilmu Administrasi dan Humaniora dan moderator diskusi dipimpin langsung oleh Wakil Rektor III Universitas Ngurah Rai. Ada 6 (enam) Universitas yang berperan aktif adalah Universitas Bali Internasional, Universitas Udayana, Universitas Ganesha Singaraja, Universitas Mahasaraswati, STISIP Margarana dan Universitas Ngurah Rai.  Secara keseluruhan pertemuan ini mengangkat pembelajaran dari 13 (tigabelas) program studi.

Ragam Inisiatif Pengembangan Kajian dan Mata Kuliah Gender

Universitas Udayana

Sharing dilakukan oleh Program Studi Ilmu Politik, Sosiologi, Antropologi, Hubungan Internasional dan Pusat Studi Gender dan Perlindungan Anak.

Keempat program studi Universitas Udayana telah mengembangkan mata kuliah khusus yang mengangkat isu-isu gender secara eksplisit. Di Program Studi Ilmu Politik, mata kuliah “Perempuan dan Politik” yang dilengkapi dengan buku ajar dengan judul “Politik Tubuh” yang ditulis oleh pengampu mata kuliah DR. Tedi Erviantono, S.IP, M.Si. Mata kuliah ini membahas bagaimana patriarki bekerja dalam kehidupan sehari-hari, seksualitas, rasialitas, hingga dinamika gerakan feminis dan persoalan tubuh dalam pelayanan publik serta tata kelola pembangunan. Mahasiswa diberi tugas akhir berbasis isu-isu gender, dan sebagian telah aktif di organisasi perempuan, khususnya di Jakarta. Program studi ini juga telah menyerahkan mata kuliah tersebut kepada Asosiasi Program Politik Indonesia sebagai bentuk pelembagaan mata kuliah pilihan berbasis perspektif gender.

Sementara itu, Program Studi Antropologi di Fakultas Ilmu Budaya mengembangkan mata kuliah “Antropologi Gender” yang memfokuskan pada praktik budaya patriarki. Harapannya, mata kuliah ini dapat menjadi model nasional dalam pendekatan multidisiplin terhadap gender. Program Studi Sosiologi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik juga telah menyelenggarakan mata kuliah “Sosiologi Gender” yang tidak hanya mendalami konsep-konsep gender, tetapi juga isu mutakhir seperti gerakan “child-free” dari perspektif perempuan. Mereka juga mendorong pembentukan kelompok keilmuan tentang gender dan keluarga serta memfasilitasi skripsi bertema gender dan adat, termasuk yang menyoroti struktur adat yang hanya dipegang laki-laki.

Di Program Studi Hubungan Internasional, pengajaran gender dalam konteks politik global telah diperkenalkan melalui mata kuliah “Gender dalam Hubungan Internasional”. Mata kuliah ini menjadi ruang analisis kritis terhadap maskulinitas dan femininitas dalam relasi internasional, termasuk pengaruh kosakata seperti “caregiver” dalam konteks perang dan politik. Pendekatan yang digunakan menyeimbangkan teori feminisme (termasuk tiga gelombang dan variasi aliran) dengan pengalaman praktis, dan menekankan pentingnya norma sosial sebagai titik masuk untuk memahami ketimpangan gender dalam masyarakat global dan lokal.

Universitas Bali Internasional (UNBI)

Di luar itu, mata kuliah gender dipercepat oleh pengalaman dan komitmen pribadi dosen, seperti yang terjadi di Program Studi Hubungan Internasional, Ilmu Psikologi dan Prodi Hukum. Dalam prodi Hubungan Internasional mata kuliah ini merupakan shifting pandangan akademisi yang sebelumnya menganggap HI sebagai urusan negara tentang perang, perdamaian, ilmu-ilmu yang tidak membumi kemudian diarahkan menjadi ilmu-ilmu yang berkontribusi secara sosial. Mata kuliah Gender ini statusnya masih mata kuliah pilihan dan sekarang sedang revisi kurikulum akan ditempatkan menjadi mata kuliah wajib.

Perspektif gender diintegrasikan dalam Ilmu Psikologi mencakup konsep dasar gender, perkembangan gender dan psikologi gender.  Dalam ilmu komunikasi interpersonal dan pengalaman sebagai caleg perempuan yang mengalami tantangan nyata yang dihadapi perempuan dalam ruang publik dan politik, seperti dominasi kerja domestik dan keterbatasan suara dalam pengambilan keputusan adat, menjadi bagian dari pembelajaran. Hal serupa juga diterapkan dalam pengajaran berbasis pengalaman pengampu mata kuliah di Prodi Hukum, di mana kasus-kasus perceraian, bias budaya patriarki, dan refleksi terhadap hukum adat menjadi salah satu pencetus mata kuliah “Gender dalam Hukum”.

Universitas Ganesha, Singaraja

Mata kuliah Sosiologi Gender berdiri sendiri dalam program studi Pendidikan Soisologi Universitas Ganesha Singaraja. Sebagai mata kuliah baru, tantangannya berat. Banyak pengalaman “luka” dalam mengenalkan isu gender, oleh karena itu dibutuhkan keberanian dan bekal pengetahuan. Secara terus menerus dibutuhkan pertemuan yang melatih bicara tentang diri sendiri, bercerita hingga membuka kesadaran ada masalah pada dirinya.

Sementara dari Universitas Hindu Negeri Bali, Universitas Mahasaraswati dan STISIP Margarana belum ada mata kuliah khusus Gender namun diintegrasikan. Namun demikian, kedepan akan digagas karena sedang dalam proses review kurikulum. Sementara Universitas Ngurah Rai sedang melakukan perubahan kurikulum dan saat ini sudah membuat satu mata kuliah khusus Gender di Prodi Administrasi Publik.

Tantangan Kultural dan Kelembagaan

Salah satu tantangan besar yang muncul dalam pertemuan ini adalah bagaimana menyederhanakan dan membumikan konsep-konsep feminisme dan gender kepada masyarakat, terutama dalam konteks budaya Bali yang masih kuat dengan nilai-nilai patriarki dan adat. Beberapa narasumber menyebut bahwa masyarakat kerap memandang pembahasan gender sebagai sesuatu yang konfrontatif terhadap budaya. Contohnya, ketika perempuan tidak diizinkan berbicara dalam forum adat, meskipun telah berperan penuh dalam penyelenggaraan upacara, atau ketika perempuan diposisikan secara simbolis dalam ungkapan adat sebagai “air” yang harus mengikuti “batu” laki-laki.

Selain itu, masih terdapat resistensi dalam lingkungan akademik sendiri. Dosen yang mengampu mata kuliah gender melaporkan mendapatkan komentar sinis dan melecehkan dari forum akademik, seperti pertanyaan-pertanyaan retoris yang meremehkan urgensi studi perempuan. Situasi ini memperkuat pentingnya perlindungan ruang akademik yang progresif dan aman bagi pengajar dan mahasiswa yang bekerja dalam bidang ini.

Kesepakatan dan Rencana Tindak Lanjut

Pertemuan ini ditutup dengan kesepakatan untuk membentuk sebuah forum tetap, dengan beberapa usulan nama seperti: Forum Akademisi untuk Kesetaraan Gender, Forum Akademisi Pejuang Kesetaraan Gender dan Forum Akademisi Kajian Gender. Forum ini ditujukan sebagai ruang konsolidasi untuk memperjuangkan pembentukan dan penguatan mata kuliah gender di seluruh universitas di Bali, menyusun kurikulum bersama yang dapat diadvokasi secara nasional, serta menjadi ruang refleksi dan pertukaran antar-akademisi lintas disiplin dan institusi.

Beberapa agenda utama forum ke depan mencakup:

  1. Membuat media komunikasi melalui group WhatsApp Forum Akademisi Bali
  2. Penyusunan kartu asosiasi dan struktur organisasi forum agar keanggotaan tidak berubah-ubah.
  3. Pemetaan kurikulum dan pendekatan pengajaran gender di masing-masing institusi.
  4. Menerjemahkan teori dan praktik gender dalam konteks masyarakat Bali yang plural dan kultural.
  5. Membuat kurikulum bersama dan diadvokasikan ke tingkat nasional
  6. Merencanakan pertemuan ketiga untuk merumuskan rencana aksi kolektif yang lebih terstruktur dan berkelanjutan.

Forum ini menjadi langkah awal penting dalam memperkuat gerakan akademik untuk kesetaraan gender di Bali. Melalui pendekatan yang kolaboratif, kontekstual, dan transformatif, para akademisi berharap dapat membangun pemahaman baru tentang gender yang tidak sekadar teoritis, tetapi juga mampu menjawab tantangan sosial-budaya dan struktural yang dihadapi masyarakat saat ini.

Lihat Artikel Terkait

Membahas Kesehatan Reproduksi, Memecah Tabu

(Sebuah catatan fasilitator training Kepemimpinan Perempuan dan Perlindungan Sosial tahap...

Beasiswa Pelatihan PPHAM dan Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan

PELUANG BEASISWA PELATIHAN PPHAM DAN PENGHAPUSAN KEKERASAN BERBASIS GENDER 📣...

Info Lowongan Konsultan Pembuatan Video Pendek – Program ACTION

Program ACTION (Active Citizens Building Solidarity and Resilience in Response...

Scroll to Top