Melawan Diam: Bangun Keadilan untuk Korban Kekerasan di Konawe Selatan
Di Konawe Selatan, kasus kekerasan berbasis gender sudah seharusnya dimunculkan untuk menutupi romantisme atas keindahan alamnya. Sebab apalah arti wilayah […]
Di Konawe Selatan, kasus kekerasan berbasis gender sudah seharusnya dimunculkan untuk menutupi romantisme atas keindahan alamnya. Sebab apalah arti wilayah bagai surga bila di dalamnya ada luka kekerasan yang terus menganga, menjadi neraka bagi banyak perempuan dan kelompok marjinal Konawe Selatan. Sejak awal tahun hingga pekan kedua Agustus 2024, KPPPA RI mencatat telah terjadi 251 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak terjadi di Sulawesi Tenggara, termasuk Konawe Selatan. Dengan spesifikasi kasus perkawinan anak, dan kekerasan seksual terhadap perempuan. Kepala DP3APPKB Sulawesi Tenggara menyampaikan bahwa berdasarkan catatan, kasus kekerasan tersebut paling banyak terdapat di Kota Baubau sebanyak 27 kasus, kemudian Kota Kendari 23 kasus, dan Kabupaten Konawe Selatan (Konsel) 19 kasus.
Di tahun 2024, masyarakat Konawe Selatan dihebohkan dengan kasus pelecehan seksual ayah terhadap anak yang berakhir dengan keputusan yang tidak transparan. M didampingi untuk kembali bersekolah setelah cukup lama mengalami trauma psikologis akibat kekerasan yang dialami. Narasi terkait kekerasan selalu berakhir dengan pernyataan normatif pemerintah tentang harapan dan komitmen penanganan, tanpa ada narasi keputusan kasus di ruang hukum.
Masyarakat Konawe Selatan juga tidak boleh lupa kasus P seorang guru Taman Kanak-kanak yang menjadi korban kekerasan seksual oleh pacarnya dan teman-teman pacarnya. Sejumlah enam orang pelaku dengan status dua telah tertangkap, serta empat lainnya masih berstatus buron. Lalu sampai hari ini, P tidak kunjung menemukan titik terang penanganan kasusnya. Keadilan seolah hanya berjalan pada kawasan tertentu, dan mengabaikan perspektif korban serta keluarga. Padahal kekerasan terhadap perempuan dan anak adalah masalah yang bukan sekadar angka statistik, melainkan bencana kemanusiaan yang begitu nyata. P yang seharusnya menjadi pendidik bagi generasi penerus menanggung beban traumatis berlapis.
Lambatnya penanganan hukum mengakibatkan pertanda tanya yang besar. Ketidakjelasan proses hukum pada pengadilan menambah luka yang sudah ada. Korban dan keluarga merasa diabaikan, hak-hak mereka terlihat seolah tidak berharga. Pada tengah ketidakpastian ini, kemunculan dari kiprah organisasi perempuan menjadi sangat penting di masyarakat, Lembaga Jaringan Perempuan Pesisir Sulawesi Tenggara (JPP SULTRA) sudah mengambil langkah-langkah yang konkret untuk mendampingi P. Dari melalui kegiatan menerbitkan siaran pers sampai menyediakan rumah aman untuk keselamatan korban, JPP SULTRA memberikan komitmennya dalam membela korban kekerasan berbasis gender.
Meski demikian, upaya ini juga tidak akan memberikan hasil yang maksimal bila tidak ada dukungan penuh dari segenap aparat penegak hukum dan pemerintah terkait. Sebab hal ini telah diatur melalui Pasal 5 ayat 2 Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2024 tentang kewajiban UPTD PPA, UPTD PPA provinsi dan UPTD PPA kabupaten/kota dalam melakukan pelayanan penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Masalah P dan semua korban kekerasan tidak hanya masalah satu orang saja, tetapi menjadi masalah sistemik di negara kita. Karena untuk menciptakan ruang aman dan negara yang bebas dari kekerasan, membutuhkan dukungan semua pihak, tanpa terkecuali. Kita harus membangun solidaritas jaringan, lembaga, dan sistem penanganan berbasis hukum yang responsif terhadap korban dan pendamping.
Kita tidak bisa tinggal diam. Kita wajib bersuara, menuntut keadilan, dan memastikan bahwa masalah P dan semua korban yang tidak kunjung mendapat keadian tidak dilupakan. Kita wajib mengirimkan pesan yang jelas bahwa kekerasan seksual jangan pernah ditoleransi. Pemerintah harus bertindak tegas, menaikkan aktivitas dalam mendorong sosialisasi terkait wacana kesetaraan gender di masyarakat, serta memperkuat penegakan hukum. Warga harus berani melaporkan masalah kekerasan, menyampaikan dukungan moral kepada korban, dan merekonstruksi budaya yang melemahkan perempuan. Karena setiap perkara ialah bencana, setiap korban merupakan manusia, bukan sekadar statistik yang tidak mampu kita abaikan.
Penulis: Jaringan Perempuan Pesisir (JPP) Sulawesi Tenggara
Indonesia
English