Perempuan Dengan HIV/AIDS dalam Pusaran Ancaman Kekerasan Berbasis Gender
Di Minahasa Utara, jauh di antara keindahan Pantai Paal dan bukit Kota Manado, ada dinamika pelik yang disimpan rapat-rapat Perempuan […]

Di Minahasa Utara, jauh di antara keindahan Pantai Paal dan bukit Kota Manado, ada dinamika pelik yang disimpan rapat-rapat Perempuan yang hidup dengan HIV/AIDS (seterusnya akan penulis sebut dengan PDHA). Ketidakadilan relasi, terpinggirkan, dan didiskriminasi mengaburkan narasi keindahan Manado. PDHA dalam waktu yang lama menanggung beban ancaman dan stigma dari masyarakat yang cenderung tidak memahami persoalan keadilan HAM dan HAP, yang hidupnya terinternalisasi budaya patriarki. Pada akhirnya, sepanjang hidupnya, PDHA harus berdamai dengan kondisi internal dan eksternal. Kondisi paling menyebalkan dalam hal ini adalah, laki-laki dengan HIV/AIDS tidak mengalami perlakuan yang sama, sehingga cenderung tidak terbebani oleh kondisi yang dirasakan oleh PDHA.
Di tahun 2024, BPS Sulawesi Utara mencatat jumlah kasus HIV/AIDS di kota Manado mencapai 778 dengan sebaran Kota Bitung berjumlah 236, dan Kota Tomohon sebesar 140 sebagai dua wilayah kasus terbesar. Akhir tahun 2024, Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Sulut meluncurkan angka penderita HIV/AIDS di Kota Manado, Sulawesi Utara, mencapai 101 orang dalam waktu 6 (enam) bulan pertama tahun 2024. Informasi ini diperoleh hanya dari empat komunitas yang didampingi PKBI. Artinya, ada kemungkinan bahwa masih banyak data yang belum diketahui dari komunitas lain, yang juga data tersebut akan berfungsi memetakan kondisi sosial PDHA.
Seorang PDHA berinisial M membagikan ceritanya kepada kami tentang aktivitas bekerja dan beraktifitas sehari-hari di lingkungan sosial yang ia lalui. M adalah penyintas PDHA yang pernah terditeksi HIV tertular dari suaminya, seorang tour guide di perusahaan travel perjalanan. Melalui perawatan dua tahun, suami M meninggal dunia. Ketika mengidap HIV, selain mengahdapi virus yang menggerogoti harapan hidup serta tubuhnya hingga melumpuhkan setegah anggota tubuhnya, M juga menghadapi caci maki orang tua suaminya yang menyalahkan M atas sumber virus.
M juga harus merelakan anak-anaknya yang diambil oleh kedua orang tua suaminya dengan alasan agar tidak tertular darinya. Saat suaminya masih hidup, M dan suaminya tinggal di rumah mertua dengan kamar terpisah untuk melanjutkan hidup dengan sebaik-baiknya. Meski tentu ini jadi sangat menyakitkan bagi M karena merasa kesepian. Tak hanya itu, ruang anak-anak dan anggota keluarga suami lain berada di kamar berbeda meski dalam satu rumah. Seringkali M mempertanyakan kondisi yang ia terima sebagai perempuan saat menderita HIV/AIDs.
Kenapa dari virus yang sama saat menimpa laki-laki dan perempuan mendapat perlakuan yang berbeda dari orang-orang? Kenapa bagi banyak orang, perempuan adalah objek utama yang harus disalahkan dalam kondisi seperti ini? Selama dua tahun merawat suami, ia tak boleh bertemu fisik dengan anak meski berada satu rumah membuatnya depresi berat. Bagi M, hari-hari terasa seperti hanya menunggu waktu meninggal dunia. Setelah bertemu dokter yang merawat suami, ia menantangnya dengan berkata, “Akan meninggal sekarang atau besok sama saja. Namun anda jangan egois memikirkan diri sendiri. Masih ada anak-anak yang menununggu kasih sayangnya.” Ungkapnnya menyadarkannya bahwa dia tidak boleh bersifat egois dan mementingakan diri sendiri.
Pengalaman ini membuat M sadar membutuhkan pendampingan psikologis bagi PDHA. M mulai mencari pendampingan dan ruang aman, kemudian perlahan menata diri dan bergabung dengan komunitas sesama PDHA. Ia pun menjalani pengobatan teratur dan berperilaku hidup sehat. Kini, ia hidup layaknya masyarakat umum seiring virus itu hilang dari badanya. Ia pun aktif memberikan penguatan kepada sesama PDHA.
Cerita M bukan satu-satunya bukti tentang ketidakadilan sosial yang dialami oleh PDHA. Masih banyak peristiwa dan beban berlapis yang dialami oleh banyak PDHA lain, di Manado, maupun di luar Manado. Di Manado sendiri, Kelompok Dukungan Sebaya (KDS) One Heart One Spirit hadir merespon kondisi seperti M dengan berupaya melakukan pendampingan kepada orang dengan HIV/AIDs (ODHIV) dari berbagai keberagaman seksualitas gender sejak 2021. KDS melakukan penguatan atas mereka yang selama ini mendapatkan kekerasan dari keluarga terdekat dan pasangannya. KDS juga memberikan pengetahuan tentang penghapusan stigma dan diskriminasi kepada PDHA. Meski begitu, masih banyak ODHIV yang tidak terjangkau karena terbatasnya sumberdaya KDS. Sehingga bagi KDS, yang harus dibentuk adalah dukungan masyarakat sipil sebesar-besarnya kepada ODHIV, khususnya PDHA, agar diskriminasi dan beban berlapis yang dialami bisa kian terkikis.
Masyarakat, siapapun secara individu dan berkelompok, secara sistem dan lembaga, harus teredukasi tentang HIV/AIDS. Kita semua, bukan hanya KDS, harus sama-sama mengupayakan kondisi dukungan yang menguatkan PDHA. Sebab ODHIV, dan PDHA bukanlah musuh bagi masyarakat. Dukungan yang masif akan menghapuskan kekerasan terhadap PDHA, sambil terus merangkul semua cerita, dan mengkritisi akses pengetahuan dan pengobatan yang sama bagi semua ODHIV dan PDHA.