Permintaan Maaf Fadli Zon Tidak Cukup, Negara Harus Mengakui Tragedi Pemerkosaan Massal Mei 1998 Secara Resmi

Siaran Pers Permintaan Maaf Fadli Zon Tidak Cukup, Negara Harus Mengakui Tragedi Pemerkosaan Massal Mei 1998 Secara Resmi Jakarta, 7 […]

Siaran Pers
Permintaan Maaf Fadli Zon Tidak Cukup, Negara Harus Mengakui Tragedi Pemerkosaan Massal Mei 1998 Secara Resmi

Jakarta, 7 Juli 2025 – Institut KAPAL Perempuan mendesak Presiden untuk melakukan penanganan yang serius terhadap pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang menyebut pemerkosaan massal 1998 sebagai “rumor” meskipun yang bersangkutan telah meminta maaf dalam rapat bersama Komisi X DPR RI. “Tidak cukup hanya dengan permintaan maaf karena yang disampaikan Fadli Zon dapat menyebabkan ketidakpercayaan masyarakat kepada pemerintah karena dianggap menghilangkan atau menghapus kebenaran sejarah yang terjadi Indonesia. Juga memperdalam rasa ketidakadilan korban yang telah berjuang sejak tahun 1998 saat ini, misalnya melalui Aksi Kamisan,” kata Direktur Institut KAPAL Perempuan Budhis Utami.

Pemerkosaan massal Mei 1998 bukanlah rumor. Laporan dari sebuah Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) dari Pemerintah Indonesia pada 1998, mengungkapkan berbagai penyerangan seksual, terhadap setidaknya 152 perempuan, kebanyakan etnik Tionghoa.

Dalam laporan TGPF, Tim Relawan untuk Kemanusiaan juga memperoleh data bahwa ada 152 korban perkosaan dan pelecehan seksual di wilayah Jakarta dan sekitarnya, bersumber dari kesaksian para korban, keluarga korban dan saksi mata tentang peristiwa 13-15 Mei 1998.

Perempuan Tionghoa menjadi target spesifik dalam pemerkosaan massal pada tahun 1998. Sebagian besar kasus perkosaan dilakukan secara gang rape, dimana korban diperkosa oleh sejumlah orang secara bergantian pada waktu yang sama. Kebanyakan kasus perkosaan juga dilakukan di hadapan orang lain. Pemerkosaan dilakukan di jalanan, tempat usaha dan di dalam rumah.

Dalam pidato di hadapan DPR pada 14 Agustus 1998, Presiden B.J. Habibie mengonfirmasi telah terjadi pemerkosaan terhadap perempuan. “Seluruh rangkaian tindak kejahatan tidak bertanggung jawab tersebut sangat memalukan dan telah mencoreng muka kita sendiri,” ungkap B.J. Habibie. Walaupun Presiden saat itu mengonfirmasi adanya pemerkosaan massal pada Kerusuhan Mei 1998, namun laporan tentang peristiwa tersebut dianggap “tidak resmi” karena tidak diterima oleh DPR RI.

Negara harus mengusut kembali tragedi kemanusiaan ini. Pemerintahan Presiden Prabowo harus mengumpulkan seluruh dokumen laporan Tim Gabungan Pencari Fakta dan dokumen lainnya tentang pemerkosaan massal 1998.

Jika negara terus melakukan pembiaran terhadap peristiwa pemerkosaan terhadap perempuan, maka hal tersebut merupakan bentuk kejahatan negara. Pembiaran semacam ini tidak hanya mengingkari keadilan bagi para korban, tetapi juga membuka jalan bagi pelanggaran-pelanggaran lainnya untuk terus terjadi tanpa rasa takut dan tanpa pertanggungjawaban.

Institut KAPAL Perempuan juga menyoroti dengan serius bahwa di tengah proyek penulisan ulang sejarah resmi oleh Kementerian Kebudayaan, peristiwa pemerkosaan massal dalam Kerusuhan Mei 1998 berisiko kembali dihapus dari ingatan kolektif bangsa. Penulisan sejarah yang adil tentu berlandaskan kejujuran moral dan politik negara, bukan berdasarkan kepentingan penguasa.

Jika negara menulis sejarah tanpa menyebutkan penderitaan perempuan minoritas yang faktanya bahkan sudah diakui secara formal oleh Presiden B.J. Habibie pada 1998, maka itu adalah bentuk kekerasan kedua: penghilangan kebenaran.

Penyusunan sejarah tanpa keberanian mengakui kekejaman masa lalu hanya akan melanggengkan impunitas. Tanpa pengakuan, tidak akan pernah ada pemulihan.

“Negara harus menghilangkan seksisme dan rasisme di Indonesia dengan membuat kebijakan yang toleran dan menghargai kebhinekaan di Indonesia, melindungi perempuan dari kekerasan seksual dengan menjalankan peraturan perundangan yang melindungi perempuan, dan membunyikan Pancasila, terutama sila “kemanusiaan yang adil dan beradab” dan “keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia,” ungkap Budhis Utami.

 

Narahubung:

Muhamad Firdaus,

Atas nama Dewan Eksekutif Institut KAPAL Perempuan

 

Lihat Artikel Terkait

Siaran Pers Peluncuran Desa Ramah Perempuan dan Peduli Anak Kabupaten Lombok Timur

“Pulih Bersama Mewujudkan Desa Ramah Perempuan, Peduli Anak dan Inklusif”...

Siaran Pers KAPAL Perempuan: Peringatan Kongres Perempuan Indonesia 1928

Peringatan Kongres Perempuan Indonesia 1928 Memperingati 96 tahun Kongres Perempuan...

Pernyataan Sikap; Wujudkan Rasa Aman Bagi Seluruh Rakyat Indonesia

Hentikan Penyebaran Berita Bohong, Konten Kekerasan dan Ujaran Kebencian Tindak...

Scroll to Top