Sembuhkan Luka Ini: Mengapa Sunat Perempuan Harus Dihentikan

P2GP (Pemotongan dan Pelukaan Genitalia Perempuan) atau Female Genital Mutilation (FGM), yang dalam istilah sehari-hari sering disebut sebagai “sunat perempuan,” […]

P2GP (Pemotongan dan Pelukaan Genitalia Perempuan) atau Female Genital Mutilation (FGM), yang dalam istilah sehari-hari sering disebut sebagai “sunat perempuan,” masih banyak dilakukan di berbagai wilayah Indonesia. Sebuah studi terbaru mengungkapkan bahwa Indonesia menempati posisi ketiga negara dengan jumlah praktik sunat perempuan terbanyak di dunia, dengan 51,2% anak perempuan usia 0–11 tahun telah mengalami tindakan ini (Alifah dkk., 2024).

Komnas Perempuan mengapresiasi kebijakan pemerintah yang tertuang dalam PP No. 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan yang secara eksplisit menghapus praktik sunat perempuan, dan mendorong agar penghapusan ini tidak terbatas hanya pada bayi dan balita, melainkan berlaku pada semua kelompok usia perempuan (Komnas Perempuan, 2024). Jelas bahwa praktik sunat perempuan terbukti tidak memberikan manfaat kesehatan dan justru menimbulkan dampak buruk secara fisik dan psikis bagi perempuan, bagi keluarga perempuan, dan bagi komunitas warga tempat perempuan disunat. Meskipun dilarang oleh hukum nasional dan ditentang oleh organisasi kesehatan internasional, praktik ini masih bertahan kuat karena faktor budaya, kepercayaan, dan sosial.

Dalam konteks ini, Feminist Standpoint Theory (FST) menjadi alat analisis yang relevan untuk membongkar struktur kuasa yang melanggengkan praktik P2GP. FST menekankan pentingnya pengetahuan yang berasal dari pengalaman perempuan. Nancy Hartsock (1983) menyebutnya sebagai “alat epistemologis yang penting untuk memahami dan menentang semua bentuk dominasi.” Sedangkan Donna Haraway (1988) menggarisbawahi pentingnya pengetahuan yang situasional dan terletak (situated), bukan sembarang klaim pengetahuan universal yang mengabaikan konteks. Inilah alasan dasar mengapa pengalaman perempuan yang disunat tidak dapat disamakan atau direduksi oleh argumen budaya universal.

Dalam esei ini, saya ingin menambahkan satu lapis penting yang kerap diabaikan dalam diskursus akademik terkait fenomena P2GP: dimensi etika komunikasi feminis dari praktik sunat perempuan. Linda Steiner (2012) menjelaskan bahwa etika komunikasi feminis berfokus pada bagaimana manusia dapat hidup bersama secara sehat dan produktif, serta membangun struktur sosial-politik yang mendukung kebaikan bersama. Karena berakar pada resistensi terhadap kodifikasi dan kecenderungan untuk kontekstualisasi, etika feminis sangat relevan bagi praktik komunikasi dan media, baik sebagai subjek penelitian maupun sebagai praktik sosial.

Salah satu tokoh penting dalam etika kepedulian dan etika feminis, Nel Noddings (1929-2022), menggarisbawahi diskrepansi antara cara berpikir dan rumusan etika tradisional yang dominan dan cenderung patriarkis dengan cara berpikir perempuan yaitu bahwa “Banyak orang yang menjalani kehidupan bermoral tidak selalu menghadapi persoalan moral secara formal. Perempuan, secara khusus, tampaknya mendekati persoalan moral dengan menempatkan diri sedekat mungkin pada situasi konkret serta memikul tanggung jawab pribadi atas pilihan-pilihan yang harus dibuat…” (Noddings, 1986, p. 8).

Pernyataan ini mempertegas bahwa pengalaman moral perempuan tidak dapat disamakan dengan perspektif maskulin yang abstrak dan rasional. Etika kepedulian memperlihatkan bahwa tindakan moral tumbuh dari hubungan dan keterlibatan emosional dengan sesama yang dekat dan berada dalam situasi konkret, termasuk situasi penindasan, keterlukaan dan pembungkaman, bukan sekadar pertimbangan logis dan berjarak. Dalam konteks P2GP, etika kepedulian justru memberi ruang untuk mendengar pengalaman tubuh perempuan yang tersakiti, suara dan pengalaman mereka yang selama ini dibungkam oleh wacana agama dan budaya yang hegemonik.

Julia Wood (1994) dalam bukunya juga menekankan bahwa perempuan lebih cenderung mengembangkan etika hubungan dan kepedulian (relational ethic of care), dibandingkan etika keadilan yang sering dipakai dalam norma hukum atau logika dominan. Hal ini selaras dengan temuan bahwa sunat perempuan acapkali dijustifikasi dalam bingkai etika formalistis yang mengambil bentuk sebagai hukum agama, titah kesucian, atau jalur adat.

Sayangnya, etika formalistik mengabaikan realitas konkret perempuan: rasa sakit, trauma, bahkan kematian. Moralitas bukan semata-mata diukur berdasarkan prinsip universal tentang keadilan, tetapi juga mencakup tanggung jawab, empati, dan relasi antarmanusia, seperti diserukan Carol Gilligan dalam etika kepeduliannya (1982, 2014). Perspektif etika kepedulian menunjukkan bahwa perempuan kerap mengolah dilema moral dengan pendekatan yang lebih kontekstual dan relasional, pokok yang sangat penting untuk memahami realitas P2GP.

Salah satu kritik terhadap P2GP datang dari kelompok perempuan yang telah mengalami praktik ini. Lali, remaja keturunan Somalia korban sunat perempuan, berani bersaksi di hadapan publik Norwegia melalui dokumenter televisi. Studi Johansen (2017) menempatkan kisah Lali dalam konteks sosial yang lebih luas. Perempuan migran dari Somalia dan Sudan yang tinggal di Norwegia mengalami ketegangan antara praktik infibulasi yang mereka warisi dan nilai-nilai kesehatan serta hak-hak perempuan yang mereka temui dan adopsi dalam lingkungan baru.

Di Indonesia, kasus Salsa Djafar, balita yang disunat di Gorontalo, menunjukkan bahwa praktik ini dilakukan tanpa kesadaran atau persetujuan dari pihak yang tubuhnya menjadi objek mutilasi. Studi dari Putranto (2022) menunjukkan bahwa praktik P2GP juga terjadi di berbagai provinsi lain di Indonesia, seperti NTB, Sumatera Barat, dan Madura, dengan ragam bentuk dan pembenaran agama/budaya yang berbeda tetapi intinya sama: pola kontrol atas tubuh perempuan melalui norma tradisional dan keagamaan yang dominan.

Padahal, Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) yang kedua pada November 2022 lalu sudah mem-fatwa-kan bahwa sunat perempuan tanpa alasan medis adalah haram. Fatwa ini bernilai penting untuk meluruskan paham agamis yang melanggengkan praktik sunat perempuan, tapi sayangnya fatwa dari KUPI ini belum cukup digaungkan di tingkat akar rumput (KUPI, 2024). Dalam berbagai kasus sunat perempuan yang ada, suara dan tubuh perempuan menjadi medan pertarungan antara klaim budaya, tafsir agama, dan hak asasi individu.

Feminist Standpoint Theory menawarkan cara membaca ulang pengalaman ini secara radikal: dari bawah, dari tubuh yang berdarah, dari suara yang dulu dibungkam. Di sinilah pentingnya komunikasi yang etis, praktik komunikasi yang membuka ruang bagi pengalaman perempuan, bukan hanya untuk didengar, tapi juga diakui sebagai dasar pembuatan kebijakan dan norma sosial. Sayangnya, masih banyak buku teori komunikasi yang tidak menyentuh isu sunat perempuan, apalagi mengulasnya dari perspektif etika komunikasi feminis.

Kurikulum pendidikan tinggi untuk ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan di Indonesia, termasuk ilmu komunikasi, tidak memasukkan isu sunat perempuan sebagai kasus aktual berdampak besar yang perlu diketahui mahasiswa dan didiskusikan sivitas akademika. Padahal, komunikasi merupakan jembatan untuk membangun kesadaran yang relasional, menyampaikan pengalaman hidup yang konkret, serta mengubah sikap masyarakat yang kurang berpihak pada korban. Penggunaan FST menjadi pijakan metodologis bagi suara-suara yang selama ini tidak terdengar (Griffin, Ledbetter, dan Sparks, 2019), terutama perempuan korban.

Dalam konteks Indonesia yang multikultural dan religius, kajian etika komunikasi feminis yang menggunakan pendekatan interkultural kritis (Nakayama & Halualani, 2011; Halualani, 2018) perlu lebih didorong menjadi diskursus komunikasi antar- dan lintas-budaya arus utama. Pendekatan interkultural kritis menyoroti ketimpangan kekuasaan dalam komunikasi lintas budaya dan mendorong dekonstruksi terhadap norma-norma dominan yang menindas kelompok rentan, termasuk perempuan korban P2GP, sekaligus menggarisbawahi pentingnya resistensi untuk membongkar lapis-lapis kekuasaan dan praktik budaya yang menindas dan membungkam kelompok minoritas.

Dalam pendekatan ini, studi Shell-Duncan, dkk. (2018) menunjukkan bagaimana perempuan sepuh di Gambia dan Senegal, yang tadinya pelaku sekaligus penjaga tradisi P2GP, justru berevolusi menjadi agen perubahan. Mereka memanfaatkan otoritas sosial dan pengalaman mereka untuk mendebat norma yang merugikan perempuan, menyuarakan bahaya praktik ini serta memfasilitasi dialog antar generasi guna menantang asumsi budaya yang telah mengakar. Hal ini menunjukkan bahwa perubahan sosial dapat dimulai dari dalam komunitas budaya dengan menghargai otoritas kultural yang sudah ada dan tercerahkan keberpihakannya.

Setelah memaparkan bingkai konseptual di atas, saya percaya, sebagai akademisi dan laki-laki, berpihak pada perempuan bukan hanya soal etika akademik yang “netral, rasional, dan objektif,” tetapi justru sebuah tanggung jawab moral yang terlibat. Praktik sunat perempuan tidak hanya menyakiti tubuh, tetapi juga melukai martabat. Ia mengoyak integritas perempuan sebagai manusia utuh: fisik, psikis, dan spiritual. Maka saya memilih untuk berdiri bersama perempuan korban sunat, bukan dengan gaya romantisme dan sikap konformitas budaya, tetapi dengan keberpihakan tegas untuk keadilan dan kemanusiaan.

P2GP bukan sekadar isu perempuan. Ini isu kemanusiaan. Dalam relung pemahaman saya atas etika komunikasi yang saya pelajari, yakini, dan siarkan, mendengarkan suara perempuan yang disakiti oleh praktik P2GP adalah langkah awal menuju perubahan. Tidak cukup hanya ‘mengonstruksi ulang dan memahami budaya.’ Kita perlu menginterupsi budaya yang menyakiti dan memitigasi dampaknya.

Sunat perempuan bukan warisan suci. Ia adalah luka yang diwariskan dan koreng yang berkelanjutan. Jika Anda seorang pendidik, orang tua, tokoh adat, atau manusia yang peduli, galilah ke dalam lubuk nuranimu dan tanyakan, mengapa kita masih menyakiti mereka yang tak mampu bersuara? Bukankah di ujung sana akan menggaung pesan komunikasi yang etis dan berpihak, panggilan kodratiah kita sebagai manusia, sebagai penghayat budaya dan warga komunitas, dan sebagai warga negara, untuk MEMUTUS RANTAI sunat perempuan sekarang juga!

Penulis: Hendar Putranto, Anggota Dewan Eksekutif Institut KAPAL Perempuan Dosen Ilmu Komunikasi, FIKOM-Universitas Multimedia Nusantara

Referensi:

Alifah, R. N., Nisa, A. A., Nugroho, E., & Hermawan, D. Y. (2024). Female Genital Mutilation (FGM) in Indonesia: Systematic Review. Media Publikasi Promosi Kesehatan Indonesia (MPPKI), 7(11), 2631–2637. https://doi.org/10.56338/mppki.v7i11.6165

Amin, Z. (2024, 28 Agustus). Masih Banyak yang Belum Mengetahui Praktik P2GP Berbahaya. Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI). Diakses dari https://kupi.or.id/masih-banyak-yang-belum-mengetahui-praktik-p2gp-berbahaya/

Gilligan, C. (2014). Moral Injury and the Ethic of Care: Reframing the Conversation about Differences. Journal of Social Philosophy, 45(1), 89–106. https://doi.org/10.1111/josp.12050

Gilligan, C. (1982). In A Different Voice: Psychological Theory and Women’s Development. Harvard University Press

Griffin, E., Ledbetter, A., & Sparks, G. (2019). A First Look at Communication Theory (10th ed.). McGraw-Hill Education.

Halualani, R. T. (2018). Intercultural Communication: A Critical Perspective. Cognella Academic Publishing.

Haraway, D. (1988). Situated Knowledges: The Science Question in Feminism and the Privilege of Partial Perspective. Feminist Studies, 14(3), 575–599.

Hartsock, N. C. M. (1983). The Feminist Standpoint: Developing the Ground for a Specifically Feminist Historical Materialism. Dalam S. Harding & M. B. Hintikka (Eds.), Discovering Reality: Feminist Perspectives on Epistemology, Metaphysics, Methodology, and Philosophy of Science (pp. 283–310). Kluwer Academic Publishers.

Johansen, R. E. (2017). Undoing female genital cutting: perceptions and experiences of infibulation, defibulation and virginity among Somali and Sudanese migrants in Norway. Culture, Health & Sexuality, 19(4), 528–542. https://doi.org/10.1080/13691058.2016.1239838

Komnas Perempuan. (2024, Agustus 27). Pernyataan Sikap Komnas Perempuan tentang Penghapusan Praktik Sunat Perempuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 Tentang Kesehatan. Komnas Perempuan. Dokumen pernyataan sikap diakses dari https://komnasperempuan.go.id/pernyataan-sikap-detail/pernyataan-sikap-komnas-perempuan-tentang-penghapusan-praktik-sunat-perempuan-dalam-peraturan-pemerintah-nomor-28-tahun-2024-tentang-kesehatan dan diunduh dari https://komnasperempuan.go.id/download-file/1149 pada Minggu, 1 Juni 2025.

Nakayama, T. K., & Halualani, R. T. (Eds.). (2011). The Handbook of Critical Intercultural Communication. Wiley-Blackwell.

Noddings, N. (1986). Caring: A Feminine Approach to Ethics and Moral Education. University of California Press.

Putranto, H. (2022). Criticizing Female Genital Mutilation Practice from Feminist Standpoint Theory: A View from Communication Science Perspective. Humaniora, 34(2), 95–107. https://doi.org/10.22146/jh.68097

Shell-Duncan, B., Moreau, A., Wander, K., & Smith, S. (2018). The role of older women in contesting norms associated with female genital mutilation/cutting in Senegambia: A factorial focus group analysis. PLoS ONE, 13(7), e0199217. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0199217

Steiner, L. (2012). Feminist Communication Ethics. Dalam W. Donsbach (Ed.), The International Encyclopedia of Communication. Wiley-Blackwell. https://doi.org/10.1002/9781405186407.wbiecf019.pub2

Wood, J. T. (1994). Gendered Lives: Communication, Gender, and Culture. Wadsworth Publishing.

Lihat Artikel Terkait

Bertahan dalam Kesunyian Panjang: Kisah Penyintas Kekerasan di Masa Konflik

“Satu malam saya dipanggil oleh seorang tentara. Saya dimasukkan ke...

Institut KAPAL Perempuan Selenggarakan Peningkatan Kapasitas untuk Perempuan Pembela HAM

Institut KAPAL Perempuan bekerjasama dengan Komnas Perempuan dan Komnas HAM...

Pemenuhan Hak Pendidikan Perempuan

Upaya Mengakhiri Ketimpangan Indonesia memang telah mencapai target jika dinilai...

Scroll to Top