Beban Berlapis Perempuan Pembela HAM
”Siapakah kita ini? ‘Orang-orang itu’ dengan mudahnya melempar masalah… tapi mengapa tidak mengakui keberadaan kita (Perempuan Pembela HAM)?” Saraiyah, Ketua […]
”Siapakah kita ini? ‘Orang-orang itu’ dengan mudahnya melempar masalah… tapi mengapa tidak mengakui keberadaan kita (Perempuan Pembela HAM)?”
Saraiyah, Ketua Sekolah Perempuan Desa Sukadana, Kelurahan Lombok Utara, mengatakan kalimat itu dengan air mata menggenang di matanya.
Selama lebih dari 10 tahun, Saraiyah bersama anggota Sekolah Perempuan Desa Sukadana aktif melakukan pengorganisasian dan pendampingan kasus kekerasan berbasis gender di desanya, hingga tingkat kecamatan. Kegigihan Saraiyah membuatnya terpilih sebagai salah satu Anggota Majelis Krama Adat Desa (MKAD) Desa Sukadana. Saraiyah adalah perempuan pertama di desanya yang duduk di MKAD. Ia menginisiasi penyusunan peraturan desa tentang pencegahan perkawinan anak dan kekerasan dalam rumah tangga.
Tidak hanya mengintervensi kebijakan adat, ia juga rutin mendampingi kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Apalagi, kasus kekerasan berbasis gender di Kelurahan Lombok Utara cukup tinggi. Pada tahun 2024, Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (UPT PPA) Lombok Utara mencatat ada 136 kasus kekerasan terhadap anak dan 20 kasus terhadap perempuan, berupa kekerasan seksual dan perkawinan anak. Dalam perjalanannya sebagai perempuan yang membela hak asasi perempuan, ia mendapat berbagai ancaman dan kekerasan. Diskriminasi dan intimidasi menjadi makanan sehari-hari baginya, bahkan ia pernah mendapat ancaman pembunuhan.
Saraiyah tidak memiliki upah dan perlindungan hukum dalam melakukan kerja-kerjanya. Namun, ancaman-ancaman yang diterimanya tidak sama sekali menyurutkan kegigihannya. Ia dikenal sebagai perempuan tanpa rasa takut. Ia akan memprotes siapa saja yang berlaku tidak adil, tanpa melihat status dan jabatan.
Rasa solidaritas terhadap perempuan dan kelompok marginal yang tertindas, membuat Saraiyah tidak sempat memikirkan dirinya sendiri. Bahkan, Saraiyah pernah hampir pingsan karena tidak makan seharian saat mendampingi kasus. Sepotong roti dan sebotol air yang ia beli di warung sebagai bekalnya, ia berikan kepada korban yang menangis menceritakan kekerasan yang dialaminya.Pernah terbesit keinginan untuk berhenti, namun mendengar seseorang mengalami kekerasan, kaki Saraiyah akan tergerak tanpa keraguan.
Kemudian Saraiyah mengikuti peningkatan kapasitas untuk Perempuan Pembela HAM yang diinisiasi oleh Institut KAPAL Perempuan. Dalam pelatihan tersebut, Saraiyah tersadar bahwa selain korban yang didampinginya, dirinya juga tidak aman dan menjadi korban kekerasan.
Saraiyah mulai memperhatikan kesehatan mentalnya dan melakukan beberapa strategi untuk memenuhi keamanan fisiknya.Ketiadaan perlindungan hukum secara khusus untuk PPHAM seperti Saraiyah membuat PPHAM harus menanggung beban berlapis dalam kesehariannya, melindungi korban sekaligus berupaya melindungi diri mereka sendiri.
Indonesia
English