Perspektif Gender dalam Penanganan COVID-19

Oleh Mh Firdaus

Pademi COVID-19 berlalu setahun. Terhitung Maret 2021, sejak virus COVID-19 mewabah di Indonesia bulan yang sama tahun lalu. Saat bersamaan, setiap 8 Maret, dunia memperingati sebagai hari perempuan. Apa makna dibalik kesamaan momen itu?

Yuval Noah Harari, sejarawan, menulis di “Financial Time”, 25 Februari 2021, berjudul, “Lessons from a year of Covid”, mangatakan bahwa aspek penting banyaknya manusia meninggal dan yang menderita karena pandemi adalah buruknya keputusan “politik” pemimpin negara (“Why, then, has there been so much death and suffering? Because of bad political decisions”). Pemimpin negara lamban dibanding ilmuwan (termasuk kedokteran dan sektor lain) yang cepat berkolaborasi dan beradaptasi menemukan vaksin pencegah virus. Sementara pemimpin negara sibuk membentengi wilayah demi warganya. Minim kolaborasi dan sinergi, begitu ungkapnya.

“Politik” saya artikan sebagai keputusan negara merespon COVID-19 berupa kebijakan, atau respond non state aktor (sendiri atau bersama pemerintah) “menafsirkan” aturan untuk menghadapi pandemi. Dalam setahun pengelolaan respon COVID-19 di Indonesia — khususnya di awal — campang camping. Contohnya, miskinnya perhatian negara dan nonstate actor terhadap kelompok rentan dari dampak COVID-19. Lagi-lagi aspek “politik” salah satu penghambat upaya keadilan gender tercipta.

Dalam diskusi pakar membahas “Penanganan Pandemi COVID-19 yang Responsif Gender dan Inklusif”, 3 Maret 2021, diadakan Institut KAPAL Perempuan, gambaran Harari samar-samar terlihat. Assessment cepat Insitut KAPAL Perempuan setahun COVID-19, menemukan hal berikut. Pertama, (merujuk LBH Jentera) di masa pandemi pengaduan kekerasan terhadap perempuan meningkat (tahun 2019: 76 kasus, 2020: 105 kasus, yang tertinggi bulan Juli-September 2020: 17-19 kasus/bulan). Kedua, lembaga pengada layanan menghadapi tantangan dalam aktifitasnya, seperti; pengaduan, penanganan hukum, perlindungan maupun pemulihan korban. Ketiga, pengada layanan terbatas dalam memberikan layanan secara online (baik infrastruktur dan sumberdaya). Keempat, pemerintah melakukan refocusing anggaran penanganan pandemi teruntuk 3 sector; kesehatan, pemulihan ekonomi, dan bantuan social. Sehingga penangangan kegiatan layanan terabaikan.

Temuan itu diperkuat Komnas Perempuan. Komisioner, Sri Endras Iswarini menyatakan bahwa sejak Januari hingga Oktober 2020 (data rujukan layanan), terdapat 1.617 pengaduan, yang terdiri dari 960 KDRT (kekerasan dalam rumah tangga), dan 888 kekerasan seksual. Yang memprihatikankan beberapa lembaga layanan mengubah strategi dari off line menjadi on line, ungkapnya di webinar “Mengubah Tantangan Menjadi Kekuatan: Melakukan Perubahan untuk Perempuan di Masa Pandemi COVID-19”, 4 Mar 2021. Dengan on line, pengaduan terbatas hanya bagi pemilik korban yang mempunyai quota internet.

Perempuan kelompok disabilitas lebih parah. Ibu Nurul, direktur SAPDA, mengungkapkan kaum dissabilitas memiliki hambatan berlebih dalam mobilitas dan komunikasi. Makanya di awal pandemi informasi COVID-19 diterima tanpa saringan. Hal ini diperparah stigma lingkungan yang diterima dissabilitas sebelumnya. Tariska Indri, wakil organisasi transpuan menceritakan tantangan super berat dialami kelompok minoritas seksual saat pandemi. Ceritanya yang haru di account sosial medianya mendapat perhatian natizen. Perempuan di berbagai kelompok lain menerima kondisi sulit yang berbeda — bahkan lebih parah — saat pandemi tergambar di webinar. Pandemi COVID-19 memperparah kondisi. Pengelolaan dan minimnya anggaran negara, serta data sebagian tantangan lapangan.

Meski begitu, kisah dan inspirasi berbagai kelompok masyarakat dan sebagian pemerintah daerah tersaji di even tersebut. Eva Sundari, direktur Sarinah Institut, dan anggota DPR RI 2014-2019, memotifasi peserta diskusi.“Meskipun tantangannya berat, namun di masa COVID-19 peluang upaya mendorong pencapaian keadilan dan kesetaraan gender terbuka lebar. Berbagai kebijakan anggaran khususnya dari nasional dibuat fleksibel”, ungkapnya menanggapi berbagai kendala.

Pendapat ibu Eva merujuk sidang Kabinet 6 Januari 2021 tentang evaluasi pelaksanaan APBN 2020 dan implementasi kebijakan APBN 2021, dimana Menteri Keungan RI, mengatur Refocusing dan Realokasi Belanja Kementerian/Lembaga TA 2021 melalui surat nomor S-30/MK.02/2021. Bila dicermati, refocusing dan relokasi belanja KL bukan mendukung program vaksinasi nasional saja, namun untuk penanggulangan pandemi COVID-19 seperti; dukungan anggaran perlindungan sosial kepada warga dan percepatan pemulihan ekonomi (Kemenkue.go.id. 15 Januari 2021).

Terkait pencapaian kesetaraan dan keadilan gender, Kemendagri melalui surat edaran bernomor 460/812/SJ kepada Bupati/walikota, dan Nomor 460/813/SJ kepada Gubernur seluruh Indonesia tentang Perencanaan dan Pengawasan Dalam Pencegahan Dan Penagangan Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak. Surat edaran menekankan pertama, memprioritaskan pencegahan dan pananganan kekerasan terhadap perempuan dan ank dengan melibatkan semua pihak, dan melakukan reformasi menyeluruh dalam managemen penanganan kasus cepat, terintegrasi, serta adanya layanan rehabilitasi sosial dan reintegrasi sosial.

Kedua, oleh karena itu Gubernur dan bupati/walikota segera melakukan; memasukan pembiayaan pencegahan dalam RKPD (Rencana Kerja Pemerintah Daerah) 2020, bila APBD nya telah ditetapkan maka dapat dialokasikan di Perubahan RKPD dan perubahan APBD tahun anggaran 2020. Ibu Dian Kartikasari, aktifis senior gerakan perempuan menegaskan bahwa surat edaran itu rujukan warga menagih pemerintah daerah dalam mengalokasikan anggaran penanggulangan kekerasan terhadap perempuan dan anak di saat pandemi.

Hal sama di program perlindungan sosial. Hamong Santono, konsultan perlindungan sosial, menyatakan bahwa pemerintah Indonesia beriktikad baik dalam merespond pandemi. Berbagai kebijakan dan program serta anggaran tercipta untuk menghadapi dampak pandemi. Taksonomi program perlindungan sosial di Indonesia cukup lengkap. Diantaranya terdiri dari; program asistensi sosial (transfer sosial, padat karya, keringanan biaya, subsidi), layanan sosial (layanan dukungan keluarga), asuransi sosial (asuransi kesehatan, ketanakerjaan, dsb). Ini semua didukung program dintervensi (pameran dan pelatihan) dan kebijakan pasar kerja (upah minimum, dsb). Komitmen presiden Jokowi, 16 Agustus 2020 untuk mereformasi program perlindungan sosial berdasarkan siklus hidup manusia memperkuatnya. Kenaikan anggaran hampir 100 persen untuk program perlindungan sosial pun mendukungnya.

Aktifis gerakan sosial di Philipina mendorong pemerintahnya untuk mengalokasikan anggaran pemulihan psikologis warga terdampak COVID-19, sebelumnya tak terbayang. Pemertintah daerah kab. Trenggalek menginisiasi “musrenbang perempuan” guna menemukenali program untuk kesetaraan dan keadilan gender sehingga didanai APBD, ungkap Ibu Eva Sundari menambahkan.

Di akar rumput, berbagai kisah inspirasi muncul. Ibu Misiyah, direktur Institut KAPAL Perempuan membagikan kerja perempuan basis di masa pandemi. Melalui sekolah perempuan, perempuan mengintegrasikan perspektif gender dalam kegiatan ekonomi yang muncul di pandemi. Diantaranya; produksi jamu, tenun, bantuan pangan, bantuan spesifik untuk bayi, lansia, ibu hamil, disabilitas perempuan terpencil, usaha pembibitan, tanaman sayur lahan sempit, ternak lele, produksi pangan lokal, kerajinan untuk perlengkapan upacara adat dll.

Fika Febriana, Perkumpulan PAMFLET Generasi, menyasar aktifitasnya kepada pemulihan kesehatan jiwa masyarakat terdampak pandemi. Berdasar pengumpulan data terindikasi bahwa stressor dan kondisi jiwa anak muda terpukul saat pandemi. Maka, diadakan pelatihan kepada relawan teknik mengelola kejiwaan, sehingga mereka mampu membantu warga di level komunitas. Setelahnya, warga dirujuk kepada puskemas yang menyediakan layanan kesehatan lebih baik.

Belajar dari setahun pandemi, Misiyah mengusulkan pemulihan dampak pandemi dengan perspektif gender. Diantaranya; kecepatan respond dan perioritas pemerintah dengan menggunakan data gender dan pengalaman resiliensi penyintas dan inisiatif masyarakat dalam mengadapi pandemi. Perubahan anggaran yang responsif gender wajib menjadi strategi penganggaran pemerintah ke depan. Musrenbang perempuan menjadi salah satu alternatif mekanismenya. Kemudian, reformasi perlindungan sosial dari pendekatan target menjadi siklus hidup menyempurnakannya. Semua usulan itu harus juga memastikan bahwa semua orang tidak ada yang tertinggal (No One Left Behind).

Kini, berbagai sektor kehidupan ditantang keluar dari krisis. Semua negara di belahan dunia bergolak mencari solusi. Berbagai celah terumuskan guna tercipta trobosan dan inovasi. Bila ditelisik seksama, ruang untuk berinovasi tersedia. Aturan (kebijakan dari negara), contoh pengalaman tersaji melimpah. COVID-19 memberi ruang terbuka berbagai pihak, baik pemerintah dan non state aktor untuk berinovasi dan berkolaborasi. Ayo, di peringatan hari Perempuan international dan setahun pandemi, saatnya bergandeng tangan demi terwujudnya keadilan dan kesetaraan gender untuk kesejahteraan bersama.

(Penulis, Mh Firdaus, anggota Dewan Eksekutif Institut KAPAL Perempuan)

Post a comment